SEMARANG, GROBOGAN.NEWS-Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo melakukan pencermatan khusus fenomena terjadinya kawin bocah.
Dengan tegas, Ganjar pun meminta agar ruang “wadul” atau pengaduan untuk mendengarkan cerita dan laporan terkait kawin bocah dibuka sebanyak-banyaknya.
Instruksi tersebut disampaikan setelah Ganjar mendengar cerita dari orang tua anak penyintas kawin bocah dalam acara Talkshow Gelar Expo Jo Kawin Bocah di Gedung Gradhika Bhakti Praja, Rabu (9/6/2021), kemarin.
Ia menjelaskan bahwa kebanyakan korban pernikahan anak adalah perempuan. Cerita dari ibu itu juga mengkonfirmasi kenapa dari sisi usia pernikahan anak itu sangat berisiko. Pemerintah mempunyai regulasi tetapi orang tua juga punya peran penting dalam pendidikan di rumah.
“Bukan hanya karena kenakalan remaja saja tetapi juga kenakalan orang tua. Kalau kemudian banyak kawin bocah, yang salah itu gubernurnya karena kurang memberikan pemahaman, guru dan orang tua juga punya peran untuk memberi penjelasan dan pembelajaran,” katanya.
Cerita ibu dari anak penyintas kawin bocah itu juga memberikan informasi bahwa beban anak cukup berat. Itu karena konflik orang tua dan belum adanya pemahaman dari anak. Maka dari itu ruang-ruang pengaduan atau bercerita perlu dibuka seluas-luasnya agar anak bisa mendapatkan perlindungan dan mempunyai ruang untuk berkeluh kesah.
Selain itu untuk mengkampanyekan gerakan Jo Kawin Bocah juga dipilih duta. Duta tersebut antara lain Maya dari Forum OSIS, Atalia dari Forum GenRe, Ivan dari Forum Anak, dan Aril yang mewakili komunitas difabel. Duta ini telah menjalani pelatihan untuk bisa melatih teman-temannya. Tentunya untuk kampanye Jo Kawin Bocah dengan bahasa dan media yang dekat dengan anak-anak.
“Nah sekarang ini ada duta Jo Kawin Bocah. Duta dari anak-anak ini yang akan terus mengkampanyekan Jo Kawin Bocah. Lalu menyampaikan bagaimana berprestasi, apa itu pernikahan, dan apa itu reproduksi,” katanya.
Sebelumnya, dalam acara Talkshow Gelar Expo Jo Kawin Bocah di Gedung Gradhika Bhakti Praja, Rabu (9/6/2021), kemarin, seorang ibu bercerita mengenai anak perempuannya yang terpaksa menikah pada usia sekitar 16 atau 17 tahun.
Pernikahan itu terpaksa dilakukan karena si anak sudah hamil duluan. Saat itu pasangan laki-laki yang juga masih di bawah umur belum bekerja.
“Saya ibu dari anak yang terpaksa melakukan perkawinan bocah akibat perlakuan bapaknya. Saya mendapat KDRT dadi suami sampai akhirnya berpisah. Anak saya diculik setelah pulang sekolah dan dikoskan di tempat mewah,” ujar ibu itu mengawali cerita.
Sang ibu yang tidak tahu keberadaan anaknya itu sudah mencari lama. Sampai akhirnya anak perempuannya pulang dalam keadaan hamil.
“Waktu pulang sudah hamil. Saya tanya tidak mengaku terus minta bantuan sampai anak saya mengaku dihamili pacar. Memang pacarnya mau tanggung jawab untuk menikahi tetapi kondisinya saat itu tidak ada modal dan tidak bekerja,” katanya terbata-bata.
Setelah menikah dan melahirkan, anak perempuan itu tidak kuat karena tekanan sosial sehingga meninggalkan suami dan anaknya. Terakhir pasangan pernikahan anak itu bercerai.
“Anak saya waktu menikah umur 16 atau 17 tahun. Saya berpesan jangan kawin bocah walaupun terpaksa mengawinkan itu buntutnya tidak enak, terutama bagi orang tua pihak perempuan. Risikonya sampai bertahun-tahun,” ungkapnya.RIS