JAKARTA, GROBOGAN.NEWS – Dalam Kabinet Jokowi, ada dua menteri yang menggunakan Undang-undang ITE untuk melaporkan aktivis ke pihak kepolisian.
Keduanya adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan dan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko.
Keduanya menggunakan Undang-undang tersebut dengan tuduhan pencemaran nama baik oleh aktivis.
Luhut melaporkan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti.
Sementara itu, Moeldoko mengadukan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha dan Miftahul Choir.
Pelaporan dua pejabat itu menuai sorotan. Koalisi Masyarakat Sipil Serius Revisi UU ITE menilai pelaporan tersebut ancaman serius terhadap demokrasi dan kerja pembela HAM.
“Pembela HAM yang seharusnya diberikan jaminan perlindungan atas kerja-kerjanya, justru mendapatkan serangan dari pejabat publik,” kata perwakilan Koalisi, Ade Wahyudin dalam keterangan tertulis, Kamis (23/9/2021).
Luhut melaporkan Haris dan Fatia lantaran percakapan keduanya di kanal Youtube. Mereka membahas hasil riset sejumlah organisasi masyarakat sipil bertajuk
“Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”.
Salah satu hasil riset menyebutkan dugaan afiliasi Luhut dengan perusahaan pemegang izin proyek Sungai Emas Derewo di Papua. Sebelum melapor ke polisi, Luhut dua kali melayangkan somasi kepada Fatia dan Haris.
Selain melaporkan secara pidana, Luhut juga menggugat Haris Azhar dan Fatia sebesar Rp 100 miliar. Kuasa hukum Luhut, Juniver Girsang, mengatakan uang itu untuk masyarakat Papua.
Juniver membantah kliennya dianggap melakukan pembungkaman terhadap aktivis. Menurut Juniver, mantan Menteri Koordinator Bidang Polhukam itu sering menerima aktivis untuk berdiskusi.
“Berkali-kali dia katakan kepada saya, saya (Luhut) ini responsif terhadap kritik, sepanjang kritik itu membangun,” kata Juniver kepada Tempo, Rabu (22/9/2021).
Sedangkan pelaporan Moeldoko terhadap Egi Primayogha dan Miftahul Choir bermula dari hasil riset ICW tentang dugaan kedekatan dirinya dengan petinggi PT Harsen Laboratories, produsen ivermectin.
Kedekatan itu ditengarai berpotensi pada terjadinya konflik kepentingan.
Sebelum melapor ke polisi, Moeldoko tiga kali mengirimkan somasi kepada dua aktivis antikorupsi itu.
Moeldoko mengaku telah memberikan kesempatan kepada dua peneliti ICW tersebut untuk menjelaskan seluruh tudingan yang dialamatkan kepadanya.
Ia juga meminta kepada Egi dan Miftah untuk meminta maaf dan mencabut pernyataan, tetapi tak dilakukan.
“Saya Moeldoko, selaku warga negara yang taat hukum hari ini melaporkan Saudara Egi dan Saudara Miftah karena telah melakukan pencemaran atas diri saya,” kata Moeldoko pada 10 September lalu.
Ade mengatakan, pola ancaman hukum seperti ini berpotensi tereskalasi menjadi proses Strategic Lawsuits Against Public Participation (SLAPP), menciptakan lingkungan tanpa ruang demokrasi, dan melemahkan kemampuan pembela HAM menjalankan pekerjaan mereka dan berbicara kebenaran kepada kekuasaan tanpa rasa takut akan pembalasan.
Padahal, ia mengingatkan, hak para pembela HAM atas kebebasan berekspresi dijamin tak hanya di bawah hukum HAM internasional.
“Biar Publik Melihat Siapa Sesungguhnya LBP!”
Namun, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yakni Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 25, serta Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E juga mengatur hal tersebut.
Ia mengingatkan, konstitusi menjamin bahwa setiap orang bebas menyatakan pendapat di muka umum. Konstitusi juga melindungi hak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan gagasan, secara lisan dan tertulis, melalui media cetak dan elektronik.
“Pelaporan ini semakin menunjukkan bagaimana UU ITE terutama pasal defamasi, kian menunjukkan relasi asimetrik, bahwa mereka yang punya kekuasaan menggunakan UU ITE kepada orang yang lebih lemah,” kata Ade.
Koalisi pun mendesak Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Purnomo mendesak jajarannya untuk tak menindaklanjuti pelaporan pidana, baik oleh Luhut maupun Moeldoko.
Ade mengatakan, apa yang dilakukan Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, Egi Primayogha, dan Miftahul Choir adalah murni kebebasan berekspresi, pendapat, dan kerja-kerja pembela HAM yang dilindungi konstitusi dan undang-undang.
Ia juga meminta Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Inspektur Jenderal Fadil Imran menginstruksikan anak buahnya untuk mematuhi Surat Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Kejaksaan, dan Kepolisian yang mengatur pedoman interpretasi UU ITE.
Selain itu, Koalisi mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menjamin perlindungan terhadap empat aktivis yang sama-sama dilaporkan dengan pasal pencemaran nama di UU ITE tersebut.
Terakhir, Koalisi mendesak pemerintah dan DPR segera merevisi pasal-pasal bermasalah di UU ITE.
“Untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan,” kata Ade Wahyudin.
Berita ini sudah dimuat di https://joglosemarnews.com/2021/09/luhut-dan-moeldoko-sama-sama-gunakan-uu-ite-untuk-laporkan-aktivis-ke-polisi/