SEMARANG, GROBOGAN.NEWS-Proses pembebasan lahan pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak di wilayah Kecamatan Genuk terjadi polemik.
Betapa tidak, puluhan hektar lahan tambak yang terletak di Kelurahan Terboyo Kulon, Terboyo Wetan dan Trimulyo, Kecamatan Genuk, Kota Semarang, dinyatakan sebagai tanah musnah oleh panitia pembebasan tanah (P2T).
Padahal, lahan tambak yang saat ini milik warga tersebut terdampak pembangunan jalan tol Semarang – Demak, terancam tidak mendapatkan ganti rugi pembebasan lahan.
Para warga selaku pemilik lahan tambak kompak menyatakan menolak penetapan tersebut. Alasannya, puluhan hektar yang terdampak jalan tol masih difungsikan untuk budidaya ikan bandeng, kerang, dan udang.
Ngatino, seorang pemilik tambak usai rapat warga pemilik tambak di Rumah Apung, Kelurahan Tanjung Mas, Semarang Utara, menyatakan, jika statusnya dianggab musnah itu kabar yang tidak benar.
“Kalau dianggap musnah, itu tidak benar. Karena ketika ada proyek normalisasi Banjir Kanal Timur (BKT) dua tahun lalu, dengan tanah dan objek pajak yang sama, itu dihargai dengan layak. Tapi kenapa proyek tol Semarang-Demak ini, tambak kami dianggap tanah musnah?” terang Ngatino, kemarin.
Ia menyatakan, total luasan tambak yang terdampak pembangunan jalan tol Semarang-Demak dan belum mendapat ganti rugi ada sekitar 65 hektar milik 10 warga.
Jumlah tersebut tersebar di tiga kelurahan yaitu Terboyo Kulon, Terboyo Wetan dan Trimulyo, Kecamatan Genuk, Kota Semarang.
Dengan dianggap sebagai tanah musnah, maka warga hanya akan mendapat tali asih yang besarannya masih jauh dari ganti rugi yang layak.
“Harapannya, tim pengadaan tanah tol Semarang-Demak, tetap mencantumkan tambak kami sebagai tanah terdampak sehingga kami bisa mendapat penggantian yang layak melalui appraisal, bukan sekedar tali asih,” pinta Ngatino.
Sementara itu, pemilik lahan tambak lainnya, Joko S mengatakan, warga sepakat untuk menolak tali asih atas penetapan tanah musnah seluruh tambak karena sampai sekarang warga masih melakukan budidaya dan membayar pajak tahunan.
“Kami menolak penetapan tanah musnah atau tali asih sebagai ganti rugi. Kami meminta ganti rugi yang layak berdasarkan appraisal. Secara yuridis, tanah kami tanah yang sah, setiap tahunnya membayar pajak,” jelasnya.
Untuk ditetapkan sebagai tanah terdampak jalan tol, syaratnya di antaranya tambak harus 90 persen berupa air dan 10 persen batas, bisa berupa tanah atau pembatas lainnya.
“Faktanya, tambak kami 90 persen air. sampai sekarang masih kami budidayakan baik bandeng, kerang atau udang. Jadi tambak kami masih bisa diidentifikasi. Dan ini pernah dilakukan pengukuran oleh BPN Kota Semarang, dan tidak ada perselisihan,” tambahnya.
Penetapan tanah musnah puluhan hektar tambak warga di tiga kelurahan tersebut berdasarkan ketetapan P2T pembangunan jalan tol Semarang-Demak.
Pada bagian lain, kuasa hukum para petambak, Agus Wijayanto meminta kepada tim pengadaan tanah atau penentuan tanah musnah harus hati-hati dan teliti untuk menentukan tanah mana saja yang masuk kategori tanah musnah.
Ia menyebutkan, dalam Peraturan Menteri Agraria yang dimaksud tanah musnah jika memenuhi tiga kriteria.
Yang paling utama yaitu bahwa tanah atau tambak itu sudah berubah bentuk sehingga sudah tidak bisa diidentifikasi.
“Faktanya, tanah tambak warga bisa diidentifikasi karena pembatasnya masih ada. Bisa dengan tanah atau bambu dan lainnya,” tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, tanah musnah manakala sudah tidak bisa difungsikan. Padahal, tambak warga yang terdampak masih bisa difungsikan baik untuk budidaya bandeng, keras atau udang.
“Jadi, kami semua akan mempertahankan agar tambak milik warga tidak dikategorikan menjadi tanah musnah. Tidak menutup kemungkinan, kami akan melakukan langkah hukum untuk mempertahankan hak warga,” tandasnya. DIT I KAS