GROBOGAN.NEWS Umum Magelang

Pembukaan Festival Lima Gunung Dibuka di Sumber Mata Air Dusun Gejayan Wilayah Terpencil di Lereng Gunung Merbabu

Tradisi hajatan yang sakral digelar sebagai penanda dibukanya FLG beserta serangkaian kegiatan digelar di mata air Telompak yang berada di lokasi yang terpencil di lereng Gunung Merbabu  yakni  di Dusun Gejayan, Jumat (21/5) kemarin. Lokasinya berjarak sekitar 25 kilometer dari pusat Kabupaten Magelang. Ist

MAGELANG, GROBOGAN.NEWS-Komunitas Lima Gunung kembali menggelar Festival Lima Gunung (FLG) ke-20 pada Jumat (21/5) kemarin.

Seremonial sebagai penanda dibukanya FLG beserta serangkaian kegiatan digelar di mata air Telompak yang berada di lokasi yang terpencil di lereng Gunung Merbabu  yakni  di Dusun Gejayan.

Lokasinya berjarak sekitar 25 kilometer dari pusat Kabupaten Magelang.

Hajatan tersebut bertajuk Hari Peradaban Desa ini digelar bersahaja dengan protokol kesehatan.

Pembukaan FLG ke-20 ini diawali dengan ritual doa di sumber air Telompak Dusun Gejayan Desa Banyusidi Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang.

Larung doa dan asap dupa menjadi simbol kesetaraan antara manusia dan alam.

“Sumber mata air telompak yang menjadi sumber mata air untuk dusun di lima gunung,” kata Ketua FLG Supadi Hariyanto di sela sela kegiatan, Jumat (21/5).

Menurut seniman tradisional ini, sesuai tema FLG XX yakni Hari Peradaban Desa, keberadaan festival ini merupakan simbol gotong royong seniman masyarakat dusun yakni hawa gunung, sumber air sawah, serta suasana ramah.

Dikatakan Supadi, dusun dan desa adalah kekuatan nusantara. Lumbung pangan berada di pelosok itu.

“Peradaban desa sumber kekuatan pangan Indonesia,” tegasnya.

Jika biasanya FLG menjadi sarana pesta budaya masyarakat, kini karena pandemi, prosesi ini dibatasi yakni tidak lebih dari 50 orang. Mereka menggelar kirab bisu dari Padepokan Wargo Budoyo ke ‘tuk’ Tlompak yang berada di lembah Gunung Merbabu.

Di lokasi mata air Telompak, para peserta yang merupakan perwakilan seniman Gunung Merapi Merbabu Sumbing Andong dan Menoreh terlihat duduk bersila di atas tikar. Suasana hening, tanpa ada suara. Gemeriicik air di gentong tanah menambah suasana khidmat.

Para peserta berbusana Jawa terlihat menjaga jarak dan mengenakan masker dalam semua prosesi sakral ini.

Tuan rumah FLG XX Desa Banyusidi, Riyadi mengungkapkan FLG tahun ini memang berbeda dengan tahun sebelumnya. Karena sudah menjadi tradisi maka kondisi apapun FLG tetap digelar setiap tahun dengan lokasi berbeda.

“Bahasa Jawanya ‘netepi wajib’. Kondisi apapun bagian tradisi ini tetap kita laksananakan walau sederhana,”  kata Riyadi.

Dijelaskan Riyadi bahwa instalasi FLG memiliki makna kehidupan. Hiasan berbentuk cakra ini berbahan daun janur pohon aren.

Menurutnya, cakra merupakan senjata Krisna dalam kisah Mahabarata. Senjata ini jika dilepas berputar seperti perjalanan hidup yang kadang di bawah kadang di atas. Sedangkan pohon aren bagi masyarakat gunung diyakini sebagai pohon yang mampu menyimpan sumber mata air.

Peradaban manusia dengan pandemi Covid-19 menggambarkan roda cakra itu. Namun demikian pandemi itu bukan perjalanan akhir dari kehidupan modern.

“Warna (janur aren) lebih kuning tajam seperti emas. Jika ingin mencari nilai kebajikan ‘keemasan’ itu hanya ada di desa,” ujarnya seraya berharap pandemi covid 19 segera berakhir agar semua dapat mudik, pulang ke desa menuntaskan rindu dengan alam tetangga dan keramahan.

Orasi budaya dan performance art dari sejumlah seniman menjadi puncak acara FLG Ke XX tahun 2021 yang tetap hening di antara kabut dan senja Gunung Merbabu. F. Lusi