SRAGEN, GROBOGAN.NEWS – Vonis positif Covid-19 terhadap diri seseoang, tak dapat dipungkiri, di sisi yang lain bisa membuat orang merasa terpojok, tersisihkan dan disingkirkan.
Kondisi tersebut dialami oleh seorang anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) asal Desa Wonotolo, Kecamatan Gondang, Sragen berinisial NAN (36).
Alhasil, karena merasa diperlakukan tidak adil, 4dia pun memprotes hasil swab yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Sragen.
Pasalnya, hasil swab yang diterbitkan RSUD dr Moewardi Solo itu berbeda dengan hasil swab mandiri yang dilakukannya di rumah sakit lainnya.
Hasil swab dari DKK menyatakan positif sementara setelah diswab mandiri di RS dr Oen Solo ia dinyatakan negatif. NAN pun merasa seolah-olah dicovid-kan atas perbedaan hasil swab itu.
Bahkan akibat status positif itu, warga Kedung Gandu, Wonotolo itu harus menghadapi kenyataan pahit di masyarakat maupun usahanya. Fakta itu diungkapkan NAN kepada wartawan, Kamis (3/12/2020).
Menurut bapaknya, Joko Riyanto, akibat hasil swab positif, situasi desa sempat mencekam. Warga yang setiap hari salat di masjid, kemudian menjauhi NAN yang sebelumnya menjadi takmir masjid.
“Yang lebih pilu, usaha tempe kripik yang dijalankan anak saya dan setiap hari laku, jadi nggak ada yang njamah. Yang jualan keliling pun juga nggak ada yang laku. Terpaksa kemarin dagangan diremuk dijadikan pakan sapi. Apa nggak kasihan,” papar Joko.
Tak hanya NAN, usaha lain milik tetangga yang berjualan tahu dan tempe, juga ikut terimbas. Produksi tempe dan tahu baik mentah maupun matang yang dijajakan juga tidak ada yang membeli karena warga ketakutan.
“Dagangan tahu tempe jadi dijauhi orang tidak ada yang beli juga,” imbuh Joko.
Tidak hanya itu, posisi NAN sebagai calon anggota KPPS kini juga terancam. Joko menyebut sebenarnya keanggotaan NAN di KPPS tetap berlanjut namun semuanya tergantung dari KPU.
“Bagaimana kelanjutannya saya belum bisa ngomong,” tuturnya.
Kisah pilu NAN berawal ketika ia yang terdaftar sebagai anggota KPPS mengikuti rapid test dan dinyatakan reaktif.
Karena reaktif, ia kemudian menjalani swab test di technopark pada 17 November lalu. Saat keluar hasilnya tiga hari kemudian atau tanggal 20 November, NAN langsung syok ketika ia dinyatakan positif.
Ia kaget padahal ia merasa sehat dan tidak ada gejala apa-apa. Karena merasa sehat, NAN pun kekeh menolak dijemput tim Puskesmas untuk isolasi mandiri di Technopark Sragen.
Karena ragu atas hasil swab itu, ia pun memutuskan untuk memberanikan diri melakukan Swab test mandiri di Rumah sakit dr Oen Solo tanggal 26 November 2020.
Hasilnya kemudian keluar dua hari kemudian. NAN dibuat terkejut untuk kali kedua setelah hasil swab menunjukkan tanda negatif.
“Saya curiganya karena hasil swab dari Moewardi itu tidak ada tanda tangan yang yang bertanggung jawab dibawahnya. Saya bandingkan dengan hasil yang dari dr Oen itu ada tanda tangannya dari dokter lab,” ujar NAN.
Joko Riyanto yang mendampingi NAN juga heran karena kabar NAN dinyatakan positif akhirnya membuat warga sekitar resah.
Sementara sejak kabar positif itu muncul, seperti tidak ada tindakan apa-apa dari pihak terkait. Menurutnya, pemerintah dan DKK juga tidak ada tindakan ke rumah, sebelum NAN akhirnya memutuskan melakukan swab mandiri.
”Minimal ya ada penyemprotan. Ini tidak ada sama sekali,” ujarnya.
Pihaknya berharap setelah ini Pemerintah memberikan kepastian hukum.
Terutama soal akurasi hasil swab lantaran menyangkut nasib seseorang dan sangat rentan memicu stigma negatif di masyarakat apabila sudah dinyatakan positif.
Terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Sragen, Hargiyanto menepis tudingan hasil swab tidak akurat dan seolah sengaja mengcovid-kan NAN. Menurutnya, perbedaan hasil dari dua swab yang dilakukan dengan rentang 9 hari itu sangat mungkin terjadi.
Sebab, masa inkubasi virus covid-19 adalah 14 hari. Sehingga ketika jarak swab pertama dan kedua cukup lama, sangat dimungkinkan sudah terjadi perubahan pada kondisi seseorang yang positif.
P
“Saudara NAN diambil swab pertama oleh DKK pada 17 November. Lalu hasilnya keluar dari Moewardi tanggal 20 November positif. Lalu dia swab mandiri tanggal 26 November hasilnya keluar 2 hari kemudian. Artinya ada selang 9 hari. Masa inkubasi virus itu 14 hari, kalau dia swab pertamanya ternyata hari ketujuh, kan sembilan hari kemudian mungkin kondisinya sudah membaik sehingga bisa jadi sudah negatif,” paparnya.
Ia menjelaskan daya tahan virus covid adalah 14 hari. Jika saat diswab ternyata sudah memasuki hari ke-12 inkubasi dan positif, kemudian diswab kedua tiga hari kemudian pun, peluang berubah membaik dan jadi negatif juga sangat terbuka.
Terlebih bagi orang yang positif dengan kondisi tanpa gejala, perubahan membaik itu bisa sangat cepat.
”Jadi mungkin virus waktu hidupnya tinggal sebentar. Kalau mau cari second opinion selang beberapa hari dan hasilnya negatif ya memungkinkan. Beberapa kasus juga ada seperti ini,” urainya.
Perihal tidak adanya tandatangan penanggungjawab pada hasil swab dari Moewardi, hal itu karena swab yang digelar DKK adalah swab program dengan peserta banyak. Sehingga hasil swab diterbitkan secara kolektif dalam satu lembar, bukan per orang.
Karena itu program pemerintah dan yang membiayai pemerintah, maka hal itu sudah dinyatakan sah. Meski diterbitkan secara kolektif, hasil swab dari Moewardi tetap ia tandatangani selaku Kepala DKK.
”Sragen saja dalam sehari bisa 300 sampel swab. Itu baru Sragen, belum daerah lain. Kalau suruh buat per orang dan ditandatangani satu persatu belum tentu mau dokternya. Tapi kan nanti sampai sini tetap saya tandatangani. Kalau nggak benar, pertaruhan saya juga,” tandasnya. Wardoyo
Berita ini sudah dimuat di https://joglosemarnews.com/2020/12/curhat-pilu-anggota-kpps-asal-gondang-sragen-yang-merasa-dicovidkan-di-masjid-dijauhi-jemaah-dagangan-tahu-tempe-sampai-diremuk-dijadikan-pakan-sapi-karena-tak-ada-yang-njamah/