GROBOGAN.NEWS Umum Magelang

Kenikmatan Makanan Khas Jawa. Tiwul Lava Merapi di Sekitar Candi Borobudur Kian Digemari

Tiwul lava Merapi menjadi salah satu buah tangan yang bisa diperoleh wisatawan di sekitar Candi Borobudur. Foto : Istimewa

MAGELANG, GROBOGAN.NEWS-Tiwul adalah salah satu jenis makanan khas Jawa saat ini tengah populer di kalangan milenial.

Tiwul dibuat dari singkong yang dijemur hingga kering, atau biasa disebut gaplek. Gaplek ditumbuk halus, kemudian dikukus hingga matang.

Ternyata makanan tradisional tiwul tidak hanya bisa diperoleh di Gunungkidul DIY saja.

Di Magelang pun, makanan yang terbuat dari tepung gaplek singkong ini bisa ditemui dengan mudah.

 

Tepatnya di seputaran Candi Borobudur di desa Bumen Desa Kembanglimus. Pasangan suami istri Mura Aristina dan Linda Purwaningsih sudah sejak beberapa waktu lalu membuka usaha tiwul.

 

Bukan sembarangan, karena tiwul buatan keduanya ini berbeda dibanding yang lainnya. Bisa dikatakan, tiwulnya dimasak secara istimewa dan pantas untuk dibawa sebagai buah tangan atau oleh-oleh.

 

Tiwul yang dimasak diberi juruh atau kuah gula Jawa. Juga dicetak seperti kerucut menyerupai gunung. Juruh ini bisa meleleh mirip lava gunung Merapi. Karena itu, tiwul yang dibuat diberi nama Tiwul Lava Merapi.

 

Ditemui di rumahnya, Jumat (15/10), Mura mengatakan tiwul dagangannya dibuat seperti gunung lengkap dengan lava karena terinspirasi dari gunung Merapi saat mengeluarkan lavanya atau erupsi.

 

Usaha ini sudah dibuat sejak setahun lalu saat pandemi Covid-19 melanda seluruh penjuru dunia. Gara- gara Covid-19 yang terjadi sejak 2020 lalu, menyebabkan pariwisata di candi Borobudur menurun drastis. Hal itu memberi pengaruh yang sangat signifikan terutama dari segi ekonomi bagi para pemandu wisata.

 

“Saya terdampak hingga mau tidak mau harus punya usaha yang bisa menghasilkan,” kata Mura yang juga pemandu wisata Candi Borobudur.

 

Ia dan istri memutar otak, hingga tercetus ide membuat tiwul dengan cara masak yang berbeda agar lebih menarik. Ia memilih tiwul karena istrinya berasal dari Gunung Kidul. Hingga ia tidak kesulitan mendapatkan bahan bakunya.

 

Tepung tiwul dikukus dengan cara dibentuk mengerucut tengahnya diberi kuah gula merah. Kuah itu bisa lumer ke bawah menyerupai lava.

 

Ia juga mengaku tidak kesulitan saat memasak. Hanya butuh waktu 10 menit, tepung berubah menjadi tiwul.

 

“Yang bikin lumayan repot saat mengayak usai ditumbuk menjadi tepung. Karena harus telaten memisahkan tepung yang keras dan lembut. Yang keras dibuang, yang lembut dimasak,” ujar Mura yang juga karyawan Balai Konservasi Borobudur (BKB).

 

Adapun tiwul yang dijualnya dengan beberapa varian dan toping. Seperti rasa gula Jawa, cokelat keju, cokelat atau keju saja. Kemudian, ada juga yang dicampur dengan pisang.

 

Harganya cukup terjangkau. Tiwul rasa gula Jawa seharga  Rp15.000, cokelat keju Rp17.000, cokelat Rp15.000 dan keju Rp15.000. Sedangkan yang campur cokelat keju pisang Rp20.000.

 

Pembeli banyak yang suka dengan rasa original yakni rasa gula Jawa. Sedangkan konsumen anak- anak lebih suka rasa  cokelat keju, cokelat atau keju dan dicampur pisang.

 

Istri Mura Aristina, Linda Purwaningsih menambahkan, dalam sehari rata-rata bisa menjual 20 tiwul yang dikemas dengan kertas karton atau besek. Dan paling ramai di akhir pekan, saat banyak pengunjung datang di  warung makan

 

“Ndas (kepala) ikan Beong Sehati yang terletak persis di depan rumahnya itu,” kata dia.

 

Tiwul buatannya bisa dibeli di toko oleh-oleh yang ia miliki di rumah. Selain di toko, pemasaran juga dilakukan melalui media sosial.RlS