GROBOGAN.NEWS Solo

Data BPS: 10,2% Anak di Jateng Lakukan Kawin Di Bawah Umur

webinar yang digelar kerjasama antara Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Jawa Tengah, Kantor Perwakilan UNICEF Wilayah Jawa, Yayasan Setara dan didukung kalangan akademisi, Rabu (18/11/2020). Istimewa

SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM — Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebut, selama tahun 2019 sebanyak 10,82 persen dari total anak di Indonesia melakukan kawin pada usia anak. Dari data tersebut disebutkan untuk di Jawa Tengah anak yang kawin di bawah umur sebanyak 0,2 persen dari total anak.

Hal itu terungkap dalam webinar yang digelar kerjasama antara Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Jawa Tengah, Kantor Perwakilan UNICEF Wilayah Jawa, Yayasan Setara dan didukung kalangan akademisi, Rabu (18/11/2020).

Menurut Child Protection Officer UNICEF Indonesia, Derry Ulum, berdasarkan data proyeksi BPS di tahun 2018, sebanyak 30 persen dari total jumlah penduduk di Indonesia adalah anak-anak atau sekitar 79,55 juta jiwa.

“Dari data laporan BPS juga diketahui, pada tahun 2019, satu dari sembilan anak perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Sementara untuk anak laki-laki, satu dari 100 anak mengaku menikah di bawah usia 18 tahun,” ujar Derry.

Derry juga menceritakan kasus anak bernama Fatma (bukan nama sebenarnya), 16 tahun, dari Bone, Sulawesi Selatan.

Fatma dikisahkan Derry, harus menghadapi kenyataan pahit ketika dirinya sesampainya di rumah sepulang sekolah, sudah dinanti oleh calon suami pilihan orang tuanya.

Orang tua Fatma hendak menikahkan anak yang masih duduk di bangku kelas 1 SMA itu dengan saudara jauh mereka yang berusia 34 tahun. Fatma jelas menolak, karena ia masih ingin sekolah.

“Kebetulan orang tua Fatma adalah orang berkecukupan. Fatma ke sekolah naik sepeda motor, punya laptop, punya HP.

Namun ia harus berhadapan dengan kebiasaan di daerahnya. Anak gadis sebelum lulus sekolah harus dapat jodoh. Harus menikah. Itu sudah keputusan keluarga,” kata Derry.

Pengetahuan Fatma yang cukup membuat gadis ini memilik nyali untuk melapor ke kader perlindungan anak di desa. Lalu dengan cara mediasi bersama kepala desa, rencana pernikahan itu pun akhirnya batal.

Fatma kini tetap bersekolah, bisa belajar dan bergaul dengan teman-teman sebayanya. Sehingga, pengetahuan remaja tentang kemana melapor dan adanya layanan perlindungan anak sampai di tingkat desa sangatlah penting.

Jika melihat data yang disajikan oleh BPS pada tahun 2019, maka sebanyak 10,82 persen perempuan usia 20-24 tahun di Indonesia menikah di awah usia 18 tahun. Kalau diperkirakan ini sekitar 1,2 juta anak-anak di negeri ini yang mengalami pernikahan di bawah umur.

“Tentunya ini yang tercatat atau terdata. Belum bisa dibayangkan mereka yang menikah siri atau tidak tercatatkan,” ujar Derry.

Di sisi lain, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Jawa Tengah Retno Sudewi mengungkapkan, Provinsi Jawa Tengah yang berpenduduk 34,7 juta (BPS tahun 2019), sepertiganya adalah anak-anak.

Jumlah usia anak ini menjadi lebih besar ketika UU No.16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan. Karena batasan usia nikah bagi laki-laki dan perempuan harus 19 tahun.

“Angkanya untuk Jawa Tengah terdapat 10,2 persen yang menikah pada usia anak. Ini banyak terjadi di Jepara, Pati, Blora, Grobogan, Cilacap, Brebes, Banjarnegara, dan Purbalingga.

Penyebanya adalah faktor ekonomi atau kemiskinan, faktor sosial budaya masyarakat, pendidikan, dan hamil di luar nikah. Angka perwakinan anak termasuk tinggi,” kata Retno Sudewi.

Menurut Retno Sudewi, pada tahun 2019 jumlah pernikahan anak laki-laki 1.377 dan perempuan 672. Setelah terbit undang-undang yang baru, maka hingga September 2020 jumlah anak laki-laki yang menikah ada 1.070 dan perempuan 7.268.

Dari hasil penelitian, anak perempuan dari keluarga yang berpenghasilan rendah lebih berpotensi menikah pada usia di bawah 18 tahun daripada keluarga yang berpenghasilan tinggi.

“Karena beberapa faktor tadi pemerintah Jateng, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan gerakan masif agar kawin bocah tercegah. Di sini harus ada sinergi antara pemerintah, komunitas, dunia usaha, akademisi, dan media,” kata Retno.

Sementara itu Ketua Pengadilan Agama (PA) Purworejo, Abdurrahman mengatakan, selama ini asumsi yang berkembang adalah PA adalah instansi penyubur perkawinan anak.

“Terus terang kami juga memiliki problematika. Sebab pintunya lewat Pengadilan Agama. Bahkan ada tulisan tidak perlu dispensasi pernikahan. Kami memiliki problematika sendiri. Kami justru menjaga jangan sampai terjadi pernikahan anak,” kata Abdurrahman.

Abdurrahman melihat perlunya kolaborasi aktif dari seluruh pihak yang memiliki kaitan dengan masalah perkawinan usia anak di Jawa Tengah ini. Ia ingin ada kerjasama intensif untuk bersama-sama menanggulangi masalah ini.

“Saya ingin kita semua bergandengan tangan. Bergerak bersama-sama. Karena ini tidak mungkin bisa ditangani satu sektor saja,” ujar Abdurrahman. Prihatsari

Berita ini telah tayang di Joglosemarnews.com

https://joglosemarnews.com/2020/11/wow-bps-sebut-102-anak-di-jateng-lakukan-kawin-pada-usia-anak/