JAKARTA, GROBOGAN.NEWS – Kebijakan integrasi yang dilakukan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah berdampak pada terdepaknya ribuan tenaga honorer di lembaga tersebut, termasuk Lembaga Eijkman.
Meski demikian, Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko tak ambil pusing dan jalan terus.
Dia berdalih, mereka yang menolak bukan pihak yang berhubungan langsung dengan kebijakan tersebut.
“Yang menolak itu bukan pihak terkait. Dan integrasi kelembagaan bukan berbasis pada pegawai mau atau tidak, karena itu adalah kebijakan pemerintah. Kami sudah eksekusi dari 1 September,” ujar Laksana saat dihubungi Tempo pada Kamis (6/1/2022) malam.
Peleburan lembaga riset itu mencakup integrasi aset, anggaran, tugas dan fungsi, serta pegawai negeri sipil ke dalam BRIN.
Tenaga honorer tidak masuk hitungan. Sehingga, salah satu dampak dari kebijakan ini adalah pemberhentian ribuan pegawai nonPNS di sejumlah lembaga riset, di antaranya Lembaga Eijkman.
Untuk para honorer tersebut, Laksana mendorong mereka melanjutkan studi sembari menjadi asisten riset dengan skema S3 by research (berbasis riset) dan skema research assistantship. Honorer periset usia lebih dari 40 tahun dan S3 disarankan mengikuti penerimaan ASN jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Sementara itu, honorer periset usia kurang dari 40 tahun dan S3 dapat mengikuti penerimaan ASN jalur PNS 2021.
“Untuk eks pegawai honorer tidak ada kewajiban lembaga pemerintah untuk memberikan skema karena honorer itu berbasis kontrak yang memang selalu hanya 1 tahun anggaran sampai dengan Desember. Semua itu tertulis di kontrak mereka,” ujar Laksana.
Ia enggan berkomentar ketika ditanya soal anggapan Kepala BRIN tidak punya empati dan mengorbankan ribuan tenaga honorer yang sudah bekerja sekian lama dengan adanya kebijakan integrasi ini.
“Saya tidak bisa berkomentar. Tetapi secara prinsip dan regulasi, memang tidak ada jaminan perpanjangan dan lain-lain. Justru kalau dilakukan akan melanggar hukum,” tuturnya.
Rudy Hidayat, eks tenaga honorer Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), merupakan salah satu yang terdampak pemecatan akibat kebijakan integrasi tersebut. Rudy memperkirakan ada ratusan pegawai pemerintah non-PNS yang diberhentikan dari BPPT.
Para pegawai yang terdampak pemecatan itu kini tergabung dalam Paguyuban Pegawai Pemerintah Non-PNS. Mereka mengadukan nasib ke Komnas HAM, Rabu lalu.
Rudy yang telah bekerja selama 16 tahun di BPPT itu mengatakan tak meminta pesangon. Namun, mereka berharap bisa dipekerjakan kembali di lembaga penelitian tersebut.
“Pemberhentian ini sangat berat buat kami terutama di masa pandemi,” kata Rudy Hidayat di kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (5/1/2021).
Anggota Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan lembaganya akan mendalami laporan tersebut. Menurutnya, negara seharusnya menghargai peran mereka dalam membantu dunia riset di Indonesia.
Komnas HAM, kata Beka, akan meminta klarifikasi dari pihak BRIN mengenai nasib para eks pegawai dan skema pengintegrasian.
“Kami akan bertanya ke BRIN,” kata tuturnya.
Kepala BRIN Laksana menyatakan siap menyambut Komnas HAM. “Silakan nanti supaya diverifikasi oleh Komnas HAM apakah yang terjadi sesuai ketentuan. Itu eks pegawai yang mengadu kan honorer ya,” ujar dia.
Berita ini sudah dimuat di https://joglosemarnews.com/2022/01/ribuan-honorer-kena-phk-akibat-kebijakan-integrasi-kepala-brin-tak-ambil-pusing/2/