JAKARTA, GROBOGAN.NEWS – Penurunan tarif tes PCR memunculkan kekhawatiran di sebagian kalangan akan kemungkinan pengaruhnya terhadap penurunan kualitas hasil tes.
Salah satunya, kekhawatiran itu muncul dari Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Laboratorium Indonesia (PDS PatKLln).
Ketua PDS Patklin, Aryati mengaku khawatir upaya pemerintah menekan harga batas guna memperluas wajib tes PCR justru bakal berimbas pada kualitas tes.
“Daripada mengorbankan kualitas dan keamanan maka ya mending enggak usah (pakai) tes PCR lah,” ujar Aryati kepada Tempo, Rabu (27/10/2021).
Ia mengatakan pemerintah semestinya memperketat pelaksanaan protokol kesehatan, termasuk pada fasilitas transportasi, untuk memastikan kesehatan para pejalan.
Menurut Aryati, turunnya batas harga tes PCR itu membuat pilihan penggunaan alat PCR menjadi terbatas. Misalnya, penggunaan alat PCR dengan sistem tertutup atau closed system yang sangat meminimalisasi kontaminasi, akan tidak masuk secara harga.
Pasalnya, menurut dia, untuk satu cartridge saja, biayanya mencapai Rp 550.000. Belum lagi ditambah dengan biaya-biaya lainnya seperti listrik hingga sumber daya manusia.
“Jadi ada beberapa alat bagus berkualitas yang Closed System yang ekstraksi dan deteksi PCR dlm satu alat pengerjaannya, di-running dengan minimalisasi jumlah SDM-nya. Tapi harganya dengan Rp 495.000 saja belum masuk. Jadi memang alat-alat tertentu akhirnya jadi enggak bisa dipakai,” ujar Aryati.
Seperti diketahui, sebelum ditetapkan turun menjadi Rp 275.000 per tes, harga tes PCR adalah Rp 475.000 di Jawa dan Bali.
Aryati mengatakan, lembaganya sebelumnya sudah audiensi terkait persoalan itu sejak pemerintah menurunkan harga batas tes dari Rp 900.000 menjadi Rp 495.000, namun tidak ada tindak lanjutnya.
“Malah sekarang diturunkan jadi Rp 300.000,” ujar dia.
Ia mengatakan, penurunan harga batas tes itu pun tidak melibatkan sejumlah pemangku kepentingan yang terdampak.
“Sedih sekali, kami PDS PatKLIn, ILKI, Gakeslab, PERSI tdk dilibatkan.”
PDS PatKlin sebelumnya menjelaskan ada dua sistem pengerjaan PCR, yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka dapat menggunakan reagen apa saja, tidak perlu berasal dari produk yang sama dengan alat ekstraksi maupun alat PCR.
Namun, sistem terbuka dikerjakan secara manual, membutuhkan waktu yang lama, serta perlu ketelitian yang tinggi.
Sementara, sistem tertutup harus menggunakan reagen dari produk yang sama dengan alat ekstraksi maupun alat PCR. Sistem ini bekerja secara otomatis serta waktu pengerjaannya lebih singkat
Karena itu, sistem terbuka lebih murah dibandingkan dengan sistem tertutup. Namun, sistem terbuka tetap memerlukan biaya pemeriksaan yang tidak murah.
Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, menilai pemerintah tidak tepat dalam memilih strategi tes untuk kesehatan masyarakat, sehingga menimbulkan dilema. Pasalnya, tes PCR sejatinya adalah untuk diagnosa klinis atau tes konfirmasi setelah adanya skrining.
“Jadi PCR itu untuk konteks saat ini tidak tepat, tidak efektif untuk dijadikan strategi kesehatan massal,” ujar Dicky.
Ia mengatakan persoalan itu bukan berasal dari efektivitasnya yang diragukan, melainkan secara cost effective dan kontinuitas secara strategi kesehatan masyarakat hal itu tidak mumpuni dan bukan pilihan terbaik saat ini.
Menurut dia, lebih baik pemerintah mengizinkan kembali penggunaan hasil rapid test antigen sebagai syarat perjalanan.
“PCR harusnya tes konfirmasi atau diagnostik. karena kalau dipaksakan pun publik tidak mampu karena tidak cost effective, belum keterbatasan waktu dan sumber daya. Kualitas menjadi masalah,” ujarnya.
Dengan persoalan itu, ia khawatir langkah pemerintah justru menimbulkan perkara baru.
Pada sore kemarin, Kementerian Kesehatan telah mengumumkan bahwa tarif tes PCR dibanderol Rp 275.000 untuk pulau Jawa dan Bali, serta Rp 300.000 untuk luar pulau Jawa dan Bali.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir mengatakan penurunan harga itu dimungkinkan lantaran saat ini berbagai harga alat, bahan habis pakai, hingga hazmat pun sudah turun.
“BPKP udah melakukan audit secara transparan, bahwa sekarang sudah terjadi penurunan harga,” ujar Abdul Kadir.
Abdul Kadir juga mengatakan BPKP sudah melakukan investigasi di lapangan tentang ketersediaan BHP di Indonesia.
“Kita bisa menjamin alat-alat dan BHP tersedia, sehingga tidak ada alasan RS dan faskes tidak lakukan pemeriksaan PCR,” tutur dia.
Seiring pemberlakuan batas harga maksimal PCR itu, Abdul mengatakan pemerintah juga akan melakukan pengawasan dan pembinaan untuk memastikan laboratorium mengikuti ketentuan Kemenkes.
Apabila laboratorium itu pada akhirnya tidak mengikuti ketentuan pemerintah, khususnya dari sisi tarif, maka bisa diberi sanksi seperti penutupan laboratorium dan pencabutan izin operasional.
Berita ini sudah dimuat di https://joglosemarnews.com/2021/10/tarif-pcr-turun-jadi-rp-275-000-muncul-kekhawatiran-berimbas-pada-kualitas-tes/2/