GROBOGAN.NEWS – Presiden Joko Widodo telah meneken sejumlah aturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Aturan turunan pelaksana UU Cipta kerja tersebut berjumlah 49, terdiri dari 45 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres).
Salah satu aturan turunan tersebut yakni PP Nomor 35 Tahun 2021, yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Mengutip dari laman resmi Sekretariat Kabinet (setkab.go.id), Senin (22/2/2021), dalam PP tersebut diatur tentang ketentuan yang memungkinkan perusahaan untuk tidak membayar secara penuh uang pesangon kepada pegawai yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam kondisi tertentu.
Dalam Pasal 36, diatur bahwa perusahaan dapat melakukan PHK terhadap tenaga kerja karena sejumlah alasan. Alasan pertama, perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja.
Kedua, perusahaan melakukan efisiensi karena mengalami kerugian; Ketiga, perusahaan tutup akibat mengalami kerugian secara terus-menerus selama dua tahun; Keempat, perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure); Kelima, perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang; atau perusahaan pailit.
Kemudian, pada Pasal 40 ayat (1) PP Nomor 35/2021 itu, tertulis bahwa “Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Selanjutnya, pada ayat (2) pasal yang sama, diatur besaran uang pesangon yang wajib diberikan perusahaan kepada pekerja sesuai dengan ketentuan masa kerja. Rincian pesangon tersebut, yakni:
1. Masa kerja kurang dari 1 tahun, pekerja berhak mendapat pesangon sebesar 1 bulan upah;
2. Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, pekerja berhak mendapat pesangon sebesar 2 bulan upah;
3. Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, pekerja berhak mendapat pesangon sebesar 3 bulan upah;
4. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, pekerja berhak mendapat pesangon sebesar 4 bulan upah;
5. Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, pekerja berhak mendapat pesangon sebesar 5 bulan upah;
6. Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, pekerja berhak mendapat pesangon sebesar 6 bulan upah;
7. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, pekerja berhak mendapat pesangon sebesar 7 bulan upah;
8. masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, pekerja berhak mendapat pesangon sebesar 8 bulan upah; dan
9. Masa kerja 8 tahun atau lebih, pekerja berhak mendapat pesangon sebesar 9 bulan upah.
Namun, pada Pasal 43 diatur bahwa dalam hal kondisi tertenu, perusahaan dibolehkan membayar pesangon separuh dari ketentuan di atas. Pembayaran pesangon tidak penuh itu dapat dilakukan apabila PHK terjadi karena alasan berikut ini:
1. Efisiensi akibat mengalami kerugian;
2. Perusahaan tutup akibat mengalami kerugian secara terus-menerus selama dua tahun;
3. perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure);
4. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang; atau
5. Perusahaan pailit.
“Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Perusahaan melakukan efisiensi yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian maka Pekerja/Buruh berhak atas: a. Uang Pesangon sebesar 0,5 kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); b. Uang Penghargaan Masa Kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan c. Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4),” demikian tertuang dalam PP tersebut.
Namun apabila PHK dilakukan di luar dari kondisi tersebut di atas, maka perusahaan atau pengusaha tetap wajib memenuhi kewajiban membayarkan pesangon kepada pekerja/buruh secara penuh.