GROBOGAN.NEWS Umum Magelang

Menyandang Penghargaan Presiden Lima Gunung dari Para Seniman, Sutanto Mendut Resmi Letakan Gelarnya

Mantan Presiden Lima Gunung, Sutanto Mendut saat menerima gelar dari para seniman Lima Gunung di situs Candi Windu Sabrang Wonolelo Sawangan Kabupaten Magelang belum lama ini. Istimewa

MAGELANG, GROBOGAN.NEWS-Nama Sutanto Mendut seniman tengah viral di kalangan masyarakat  di wilayah Kabupaten Magelang.

Seniman asal Magelang ini mendapat gelar Presiden Lima Gunung oleh para seniman lainnya. Namun gelar Presiden Lima Gunung tersebut telah resmi dia letakan.

Sejak festival Lima Gunung ini diadakan, secara spontan ia diberi gelar sebagai Presiden Lima Gunung oleh seniman lainnya.

Gelar itu meskipun terkesan spontan, sangat melekat pada pria berperawakan kurus ini. Karena lewat tangan dinginnya dan segala ide gagasan, seniman-seniman dari lima gunung, Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing dan Menoreh, sampai sekarang eksis menggelar karya-karya tanpa ada batasan.

Di penghujung tahun 2020, sang mantan presiden mendapat kehormatan dari banyak seniman. Berbagai gelar diberikan dan disandangkan kepada mantan presiden ini.

Tapi jangan salah karena gelar yang diberikan bukan seperti gelar dari keraton.

Melainkan gelar dari para seniman disesuaikan dengan isi hati para seniman terhadap sosok sang mantan presiden.

Pemberian gelar dilakukan di tempat terbuka yaitu sebuah situs candi yang baru ditemukan, di lereng gunung Merapi, tepatnya di Dusun Windu Sabrang, Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang.

Pemberian gelar ini sebagai tanda ‘Katresnan’ atau cinta para seniman Lima Gunung kepada sang mantan Presiden yang juga Maha guru mereka.

Sebut saja, Sitras Anjilin pemimpin Padepokan Tjipto Budoyo, Dusun tutup Ngisor Desa sumber Kecamatan Dukun yang memberikan gelar sebagai “Ki Ageng Panuntun Gending”; kemudian Riyadi, pimpinan Komunitas Seni Merbabu Padepokan Wargo Budoyo Desa Gejayan Banyusidi Pakis memberikan gelar Ki Ageng Tejo Wukir.

Ki Ipang dari Sanggar Wonoseni Desa Bandongan memberikan gelar Ki ageng Panuntun Jiwa; Ketua Komunitas Lima Gunung, Supadi Hariyanto yang pimpinan Sanggar Seni Andong Jinawi dari Dusun Mantran Wetan Desa Girirejo Ngablak menganugerahkan gelar Ki Ageng Cokro Jiwa; Handoko dari Sanggar Seni dhom Sunthil Dusun Warangan Desa Muneng Warangan Kecamatan Pakis memberi gelar Ki Ageng Syaiquna.

Bahkan dua seniman asal Kota Magelang, Susilo Anggoro pimpinan Pendopo Sasana Pamardi Budaya Kampung Meteseh Lor Kelurahan Magelang memberi gelar Ki Bethet Sewu.

Sedangkan Haris Kertoraharjo dari Sanggar Matematika memberi gelar Ki Ageng Matematika Gunung.

Seorang pewarta dari LKBN Antara yang juga aktif di Komunitas Lima Gunung, Hari Atmoko memberikan gelar Ki Ageng Kalis Waseso, sedangkan pematung asal Desa Sengi Kecamatan Dukun, Ismanto memberikan gelar Ki Ageng Pawang Lintang.

Sutanto menerima gelar dengan gaya khasnya yang cenderung santai. Ia pun dengan pasrah dan patuh saat diminta duduk di atas kursi setinggi tiga meter yang dibuat khusus dari bambu. Kursi itu diletakkan di salah satu sudut situs windu Sabrang.

Supadi Haryanto, Ketua Komunitas Lima Gunung mengatakan, pemberian gelar untuk mantan Presiden Lima Gunung yang lengser pertengahan tahun ini, karena gelar itu memang layak untuk disandangkan kepada pemilik studio Mendut tersebut.

Karena kiprahnya, seni-seni dari lereng lima gunung terus tumbuh hingga kini, bahkan dikenal baik di dalam ataupun luar negeri.

Melalui Festival Lima Gunung yang digelar sejak 2001, kesenian lereng gunung terus berkembang.

“Saya melihat Pak Tanto memiliki mata batin seakan seperti cupu manik astagina atau sarana untuk melihat dan menjalani hidup dan kehidupan. Ia juga mampu menerawang apa saja yang ada di alam semesta, untuk alam dan kehidupan seniman lima Gunung,” kata Supadi.

Atas pemberian gelar itu, Sutanto yang dihubungi Selasa (29/12/2020) mengatakan, bahwa sebenarnya Lima Gunung yang identik dengan desa adalah guru Rahmatan Lil Allamin.

Desa yang lebih nyata dan konkretnya adalah berkah dari Alloh, dibanding amburadulnya tatanan kota urban yang semrawut.

“Semoga desa tidak memberhalakan kota-kota tanpa logika dan mata batin, agar tidak tersesat kemajuan lahiriah namun palsu secara batiniah,” kata suami dari Mami Kato ini.

Sutanto juga menyebut, Lima Gunung adalah guru dari banyak ragam karakter, guru ragam unikum manusia baik individual maupun komunitas kebersamaan.

Namun tentu saja, ujar Sutanto, Lima Gunung adalah guru perjuangan duka lara sebagai realitas hidup konkret. F Lusi