GROBOGAN.NEWS Solo

Demi Tanah 33 × 26 Sentimeter, Dua Warga Sragen Ini Gencatan Senjata 4 Tahun

Foto: Wardoyo
Foto: Wardoyo

SRAGEN, GROBOGAN.NEWS – Ibarat pepatah sadumuk bathuk sanyari bumi, dua orang warga Dukuh Kawis Dulang RT 18, Desa Wonokerso, Kedawung, Sragen yang bersebelahan rumah, Suprapto (50) dan Suparmi (60), geger rebutan tanah yang hanya seluas 33 × 26 sentimeter.

Sengketa tanah secuil yang membuat kedua tetangga bersebelahan itu jadi tak rukun hampir 4 tahun memang berakhir dengan pengukuran ulang oleh tim dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sragen, Senin (23/11/2020).

Namun, Suparmi rupanya belum sepenuhnya menerima karena batas pekarangannya dengan tetangga sebelahnya yang lain, Suparno, masih menyisakan ganjalan.

Kepada wartawan Selasa (24/11/2020), Suparmi menyampaikan sebenarnya persengkataan batas pekarangan itu melibatkan satu nama lagi, yakni Suparno. Suparno yang sebelumnya menjadi Kadus, kini menjabat sebagai Kades Wonokerso.

“Yang bersengketa itu 3 orang, satu lagi dengan Pak Suparno. Dulu tahun 2000 dia (Suparno) membeli tanah saya  ukuran 11 x 26 meter di sertifikat dia ditulis 394 meter. Pada tahun 2000 anak saya sakit. Tanah seluas 11 x 26 meter milik saya, saya jual ke Pak Suparno yang sekarang menjadi lurah. Harusnya luasnya 296 meter tapi ternyata yang terlulis di sertifikat 394 meter,” kata Suparmi.

Sebagai gambaran, pekarangan dan rumah Suparmi diapit oleh Ketua RT Suprapto yang tinggal di sebelah kirinya. Sedangkan di sebelah kanannya adalah Pak Kades Suparno.

Suparmi menceritakan, gegeran batas tanahnya dengan Pak RT Suprapto sebenarnya hanya 33 sentimeter sepanjang pekarangan 26 sentimeter.

Ia mengklaim tak terima ketika tembok pagarnya dihancurkan oleh istri Pak RT, Mujiyanti beberapa bulan lalu. Ia merasa pagar temboknya itu dibangun di pekarangannya meski berhimpitan dengan tembok Pak RT.

“Tiba-tiba tembok dirusak karena tanahnya diklaim masuk milik istri Pak Suprapto. Selain tembok belakang juga buk bagian depan. Buk bagian depan itu yang membangun saya berdiri di atas kali dan menurut saya yang punya hak atas tanah itu bukan Pak RT tapi DPU,” katanya.

Suparmi menguraikan perkara pengrusakan tembok itu sudah ia adukan ke Polsek tapi tidak menemui titik terang. Kemudian ia meminta bantuan LSM Formas untuk mendampingi sehingga akhirnya direspon BPN dengan pengukuran ulang.

Soal hasil pengukuran, Suparmi mengaku sudah bisa menerima karena memang batas-batas tanah tidak ada yang geser. Ia mengklaim tembok belakang yang dirobohkan Bu RT sebenarnya memang dibangun di atas tanahnya sendiri.

“Salah kami adalah temboknya memang nempel ke Pak RT. Tapi yang kami sesalkan kenapa tidak dibicarakan dulu langsung merusak. Kalau memang batas dari BPN seperti itu dengan Pak RT ya mau nggak mau kami terima. Tapi yang jelas saya berarti membangun tembok belakang iu diatas lahan kami sendiri. Harusnya Pak Prapto selaku RT tidak bertindak anarkis main gempur sendiri. Itu yang kami sesalkan,” terangnya.

Sementara, konflik dengan Pak Kades, menurut Suparmi terjadi pada tulisan luasan tanah yang ia jual ke Pak Kades. Yang di sertifikat tertulis luasanya 394 m2 padahal harusnya 296 m2.

Namun dari hasil pengukuran ulang kemarin, semua batas dan luasan tanah Pak Kades sebenarnya pas hanya 11 x 26,5 meter.

Karena sudah pas, Suparmi mengaku tidak menyoal. Akan tetapi ia minta agar sertifikat milik Pak Kades direvisi dan luasannya disesuaikan jadi 296 m2.

“Namanya orang kan nggak tahu. Lebih baik dibetulkan untuk njagani Mas. Saya minta direvisi dan atas biaya Pak Parno sendiri karena itu sertifikatnya. Karena dulu waktu disertifikatkan, saya tidak menyaksikan karena nunggui anak saya yang sakit. Karena dia yang bikin sertifikat  harusnya dia yg bertanggung jawab untuk memperbaiki,” kata Suparmi.

Akibat konflik berkepanjangan itu, Suparmi mengaku sempat drop dan sakit dua bulan terakhir.

Hasil Pengukuran Ulang BPN

Terpisah, Kades Wonokerso, Suparno menyampaikan sebenarnya hasil pengukuran ulang dari BPN kemarin sudah pas dan tidak ada yang bergeser batas tanahnya antara Suparmi, Suprapto bahkan dengan miliknya.

Saat itu, Suparmi dan Pak RT Suprapto juga sudah sama-sama menerima. Soal luasan di sertifikatnya yang disoal Suparmi karena ada selisih 100an m2, Suparno tak menampik.

Ia menduga hal itu terjadi karena salah tulis, namun ia memastikan hasil pengukuran ulangnya sebenarnya juga tidak bergeser.

“Iya memang salah tulis Mas. Karena kemarin kelihatannya Bu Parmi sudah menerima dengan hasil pengukuran, tapi  mungkin masih agak nggrundel. Ya memang orangnya seperti itu,” kata Suparno.

Bekas bangunan buk di tapal batas rumah Suparmi-Suprapto yang jadi obyek sengketa berkepanjangan. Foto/Wardoyo

Sementara, Suprapto merasa lega setelah ada pengukuran ulang kemarin. Ia pun siap untuk kembali membuka kedua tangan guna merajut silaturahmi dengan Suparmi yang selama hampir empat tahun terkoyak gegara selisih tanah secuil itu.

Suprapto berharap Suparmi bisa kembali bermasyarakat dengan warga seperti pada umumnya.

Sebab ia merasakan sejak berselisih soal batas tanah, Suparmi kemudian berubah menjauh dan jarang kumpul gotong royong dengan warga.

“Adat di desa itu kan harus bermasyarakat dan kumpul bersama. Sehingga kalau ada kerepotan dan apa-apa juga membutuhkan warga sekitar,” tukasnya.

Salah satu anggota Formas, Sri Wahono yang mendampingi pengukuran ulang, menyampaikan pihaknya memang mendorong agar BPN melakukan pengukuran ulang lahan keduanya.

Hal itu dipandang penting untuk memberikan kepastian hukum dan menghilangkan keraguan soal batas maupun luasan lahan yang berbatasan.

“Dengan sudah diukur dan batasnya jelas begini, kan sudah nggak ada lagi saling klaim atau kesalahpahaman. Kedua belah pihak juga sudah legawa menerima hasil pengukuran,” terangnya.

Saling Gempur

Seperti diberitakan, sengketa tetangga gegara tanah secuil itu terjadi mulai 2016. Kemudian meledak lagi pada Juli 2020 lalu.

Sementara sebelumnya, istri Suprapto, Mujiyanti bersikukuh tanah miliknya sudah bersertifikat dan kurang tiga meter.

Ia juga mengakui bersama suaminya telah menggempur pagar rumah Suparmi. Menurutnya aksi tersebut merupakan puncak kekesalannya dan suami atas ulah Suparmi yang dianggapnya telah menyerobot lahannya.

Mujiyanti kemudian menjelaskan ia telah memiliki sertifikat atas tanah seluas 495 meter persegi. Setelah dilakukan pengukuran, ternyata ada kekurangan 3 meter persegi.

Dia menganggap Suparmi telah menyerobot tanahnya sehingga luasan tanahnya berkurang 3 meter persegi.

Padahal saat Suparmi membangun rumah, dirinya dan suami sudah mengingatkan supaya jangan terlalu mepet ke selatan.

“Tanpa sepengetahuan suami saya, dia malah nekat membangun rumah hingga menyerobot tanah kami. Tiga meter persegi itu bentuknya memanjang dari depan ke belakang. Lebarnya mungkin hanya beberapa centimeter,” ujar Mujiyanti.

Mujiyanti mengaku tetap yakin merasa berhak atas tanah seluas 3 meter persegi itu karena sudah dilengkapi sertifikat sebagai bukti kepemilikan yang sah. Berbeda dengan Suparmi yang baru memiliki letter C atas tanah itu.

Saat Suparmi menggempur pagar depan rumahnya, Mujiyanti merasa kecewa namun tidak melaporkan kasus itu ke polisi.

“Sekarang giliran kami yang menggempur pagar dia, kami dilaporkan polisi. Kami menggempur pagar itu juga ada dasarnya. Selain karena kejengkelan kami sudah memuncak, dia membangun pagar hingga menutup saluran air yang menjadi kepentingan bersama,” ucapnya. Wardoyo

Berita ini sudah dimuat di https://joglosemarnews.com/2020/11/448122/